Tolak RUU Penyiaran: Merampas Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Masyarakat Berekpresi

Header Menu


Tolak RUU Penyiaran: Merampas Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Masyarakat Berekpresi

Monday, May 27, 2024

Poster penolakan revisi atau RUU Penyiaran. 

PONTIANAK, artikelpublik.com
- Rancangan Undang-undang (RUU) tentang penyiaran, mendapat penolakan dari sejumlah organisasi profesi jurnalis (wartawan) dan media di Provinsi Kalimantan Barat.


Penolakan tersebut digelar dalam bentuk aksi damai (orasi dan teatrikal) di Bundaran Digulis, Pontianak, Senin (27/05/2024) sore.


"Aksi ini melibatkan sejumlah organisasi jurnalis yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pontianak, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalbar," kata Yuniardi, yang merupakan Koordinator aksi, yang juga selaku Ketua IJTI Kalbar.


Yuniardi menyebut, selain diikuti oleh beberapa organisasi profesi wartawan dan media, aksi penolakan itu juga diikuti oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Ikatan Wartawan Online (IWO), Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Forum Jurnalis Perempuan (FJP) Indonesia, Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Aliansi Mahasiswa Jurnalistik IAIN Pontianak dan sejumlah Organisasi Pers lainnya.


"Penolakan ini muncul seiring dengan penggodokan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 oleh Anggota DPR RI," tuturnya.


Sementara itu, Sekretaris AJI Pontianak, Hamdan Darsani, menyatakan, aksi tersebut dilakukan oleh seluruh pengurus AJI se-Indonesia yang berkolaborasi dengan organsiasi profesi wartawan dan media lainnya yang ada di setiap daerah.


"Kami tidak ingin kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat dirampas oleh RUU tersebut," terang Hamdan.


Menurutnya, UU Penyiaran tahun 2002 hanya mengatur Lembaga Penyiaran, namun draf revisi UU Penyiaran versi Maret 2024 menambahkan subjek hukum baru berupa platform digital penyiaran.


Perluasan definisi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di platform digital, terutama dengan banyaknya media alternatif baru yang bermunculan.

"Dalam draf RUU tersebut juga termasuk adanya upaya pelarangan penayangan hasil karya eksklusif jurnalistik investigasi," sebutnya.


Tak hanya itu, dalam draf RUU Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislasi DPR itu, terdapat pula beberapa perubahan kontroversial yang mencakup penghapusan Pasal 6 ayat 2 UU No.32/2002, yang menyatakan bahwa negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


"Selain itu, Pasal 18 yang membatasi pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, juga dihilangkan. Pembatasan kepemilikan silang dan pengaturan jumlah serta wilayah siaran lokal, nasional, dan regional pun turut dihapus," jelasnya.


Hamdan menambahkan, aksi damai yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa solidaritas dan kepedulian komunitas jurnalis terhadap ancaman yang dapat menghambat kemerdekaan pers serta ekspresi, sekaligus menyerukan agar revisi UU Penyiaran mempertimbangkan kepentingan semua pihak terkait demi menjaga prinsip-prinsip demokrasi.


Published: Noto Sujarwoto