Dakwaan Jaksa Rp262 Juta Terhadap Kades Lubuk Pengail Ternyata Hanya Rp33 Juta, Pledoi Bongkar Ketidakcermatan Penuntut Umum

Header Menu


Dakwaan Jaksa Rp262 Juta Terhadap Kades Lubuk Pengail Ternyata Hanya Rp33 Juta, Pledoi Bongkar Ketidakcermatan Penuntut Umum

Wednesday, December 17, 2025

Sidang pledoi di Pengadilan Tipikor Pontianak.

PONTIANAK, artikelpublik.com - Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Andi Pratama, yang merupakan Kepala Desa Lubuk Pengail, Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menyita perhatian publik.


Bagaimana tidak, nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan tim penasihat hukum terdakwa justru mengungkap perbedaan mencolok antara dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan fakta yang terungkap di persidangan.


Dalam dakwaannya, JPU menuduh terdakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp262.405.050. Namun, berdasarkan pembuktian di persidangan, kerugian negara yang riil hanya sebesar Rp33.923.050.


Selisih angka yang sangat signifikan itu dinilai sebagai bukti nyata ketidakcermatan Jaksa dalam menyusun konstruksi perkara.


Penasihat hukum terdakwa, Agustiawan, S.H., menegaskan, dakwaan Jaksa bersifat kabur, tidak konsisten, dan tidak selaras dengan fakta persidangan.


“Dakwaan Jaksa tidak cermat dan tidak sesuai fakta. Angka kerugian yang dituduhkan jauh melampaui kenyataan. Ini menunjukkan lemahnya profesionalisme penuntut umum serta ketidakakuratan audit Inspektorat,” tegas Agustiawan dalam pledoinya, di Pengadilan Tipikor Pontianak, Rabu (17/12/2025).


Audit Inspektorat Dipertanyakan


Tak hanya Jaksa, kinerja Inspektorat Kabupaten Kapuas Hulu yang dijadikan dasar penetapan kerugian negara juga ikut disorot. Laporan audit dinilai tidak sinkron dengan fakta persidangan, baik dari segi jumlah kerugian maupun tahun anggaran yang diperiksa.


Ketidaksinkronan tersebut menimbulkan kesan bahwa audit dilakukan secara tidak cermat dan lebih berorientasi pada pencarian kesalahan, bukan untuk menghadirkan kebenaran objektif. Padahal, audit seharusnya menjadi instrumen akuntabilitas dan pembinaan, bukan alat kriminalisasi.


Salah Objek dan Salah Subjek


Dalam pledoi, penasihat hukum juga mengungkap kesalahan mendasar Jaksa yang mencampuradukkan Dana Desa dengan Dana Penyertaan Modal BUMDes. Padahal, secara hukum, dana BUMDes merupakan kekayaan desa yang dipisahkan dan menjadi tanggung jawab pengurus BUMDes, bukan Kepala Desa.


Kesalahan tersebut dinilai sebagai error in persona dan error in objecto yang fatal dan berimplikasi langsung pada cacatnya dakwaan.


Selain itu, Jaksa juga dinilai mengabaikan asas penting dalam hukum pidana, yakni In Criminalibus Probationes Debent Esse Luci Clariores - bahwa pembuktian dalam perkara pidana harus terang dan jelas. Fakta yang terjadi justru sebaliknya: dakwaan dinilai kabur dan tidak didukung bukti yang kuat.


Kesalahan Administratif Bukan Pidana


Penasihat hukum turut mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 168 K/Pid.Sus/2018, yang menegaskan bahwa kesalahan administratif tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kecuali terbukti adanya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.


Dalam perkara tersebut, menurut pembelaan, tidak ditemukan bukti adanya niat jahat (mens rea) dari terdakwa. Yang terjadi hanyalah kekeliruan administratif yang telah diperbaiki.


“Hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium), bukan alat untuk menghukum kekeliruan tata kelola pemerintahan,” ujar Agustiawan.


Aspek Sosiologis Desa Pedalaman


Di luar aspek yuridis, pledoi juga mengungkap kondisi geografis Desa Lubuk Pengail yang berada di wilayah pedalaman Kapuas Hulu dengan keterbatasan sumber daya manusia dan akses pembinaan administrasi.


Andi Pratama disebut sebagai putra daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat dan selama masa jabatannya telah menjalankan berbagai program pembangunan desa, mulai dari pembangunan infrastruktur dasar, bantuan perikanan, hingga penyediaan sarana listrik tenaga surya bagi warga.


Tuntutan Jaksa Dinilai Tidak Berdasar


Sebelumnya, Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan, denda Rp50 juta, serta pembayaran uang pengganti sebesar Rp33,9 juta. Namun, dengan terbukanya ketidakcermatan dakwaan dan lemahnya konstruksi hukum, penasihat hukum meminta Majelis Hakim untuk membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan hukum.


Ujian bagi Marwah Keadilan


Perkara tersebut dinilai menjadi cermin rapuhnya kualitas penegakan hukum di daerah. Ketidakmampuan aparat membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana berpotensi menjadikan hukum sebagai alat penghukuman yang serampangan.


Kini, Majelis Hakim memikul tanggung jawab besar untuk mengembalikan marwah keadilan. Fakta persidangan menunjukkan tidak adanya niat jahat terdakwa, melainkan kekeliruan administratif yang telah dikoreksi.


Putusan yang adil bukan hanya akan membebaskan seorang Kepala Desa dari jeratan hukum yang tidak tepat, tetapi juga menjadi pesan kuat bahwa hukum harus ditegakkan dengan cermat, proporsional, dan berkeadilan.


Majelis Hakim dijadwalkan akan membacakan putusan pada sidang berikutnya.


Sementara itu, warga Desa Lubuk Pengail telah menyampaikan petisi dukungan, berharap agar pemimpin mereka dibebaskan dan dapat kembali mengabdi untuk desa.


Diterbitkan oleh: Noto Sujarwoto